A Digital Geneva Convention

     Norton Security merilis mengenai berbagai ancaman yang tergolong emergency dalam dunia cyber di tahun 2018, beberapa diantaranya adalah mulai cemasnya FBI yang dapat dilihat dari dikeluarkannya daftar “cyber most wanted” yang sudah disetarakan dengan orang jahat yang paling dicari lainnya. Termasuk atas serangan Ransomware WannaCry yang sangat terkenal itu. Meningkatnya jumlah varian malware yang tidak lagi hanya sekedar mengunjukkan diri, tetapi menyerang data-data riskan pada suatu organisasi atau perusahaan atau perbankan bahkan negara. Adanya research menyatakan bahwa hampir setengah dari data penting di Amerika Serikat akan diretas pada tahun 2023. Terdapat 16 juta lebih data personal diretas di Amerika Serikat hingga akhir tahun 2017 lalu, dan peningkatan mengenai identity theft terus meningkat dari tahun 2016 lalu. Semakin variatifnya ketergantungan manusia modern saat ini dengan internet of things, maka akan menciptakan meningkatnya likelihood dari kerentanan atau vulnerabilitas dari masing-masing perangkat tersebut.  

       Bagian lain yang tidak dapat sampingkan adalah pergeseran perang yang dahulu dilakukan secara kini menggunakan media online. Cyber Warfare atau yang lebih dikenal sebagai strategi “adu domba” merupakan pemanfaatan warga net atau netizen yang dikumpulkan dengan cara-cara adu domba yang kemudian menggunakan power tersebut untuk tujuan tertentu dalam mencapai tujuan pribadi. (Gazula, Mohan B., 2017) dalam tulisannya mengenai Cyber Warfare Conflict Analysis and Case Studies, menyatakan bahwa dibandingkan dengan perang fisik, dimana pemicu awalnya adalah perselisihan lalu menjadi konflik, Cyber Warfare dapat terjadi tanpa konflik.

       Semakin sadarnya negara-negara di dunia saat ini akan korelasi yang sudah menjadi nyata, antara resiko rentannya keamanan nasional dengan meningkatnya jumlah kejadian serangan siber, membuat negara-negara didunia mulai melakukan antisipasi dengan memperkokoh keamanan siber terutama pada infrastruktur yang kritis seperti pembangkit listrik. 

      Microsoft sebagai salah satu perusahaan teknologi yang dijuluki “the largest software maker” telah menyadari akan riskannya serangan cyber pada saat ini. President Directure Microsoft, Brad Smith mengemukakan pentingnya membuat Konvensi Geneva yang dilakukan beberapa tahun silam, yang menghasil kesepakatan-kesepakatan dalam hal hukum humaniter konflik bersenjata, yang mengatur masalah warga sipil ketika terjadi perang untuk Cyber Warfare, seperti berikut :

(source : https://blogs.microsoft.com )
  1. Tidak boleh menargetkan serangan ke perusahaan teknologi, perusahaan dan sektor swasta, ataupun infrastruktur inti pada suatu negara.
  2. Melakukan pertolongan dengan membantu sektor swasta untuk mendeteksi, menampung atau mencatat, merespon, dan memulihkan sistem ketika diserang.
  3. Melaporkan vulnerabilitas ke vendor lebih baik dibandingkan dengan melakukan exploitasi mereka.
  4. Melatih untuk tetap menahan diri dan bijak dalam melakukan pengembangan cyber weapons (re : cyber weapons merupakan senjata yang dirantang untuk melakukan serangan cyber / alat exploitasi). Pastikan bahwa cyber weapons bersifat terbatas (memiliki batasan), tepat ke target sasaran yang direncanakan dan tidak berkembang kemana-mana, dan memiliki sifat yang tidak dapat digunakan kembali.
  5. Memiliki komitmen terhadap serangan cyber yang dilakukan tidak bertujuan untuk menambahkan keuntungan untuk mendanai pengembangan dan pembuatan cyberweapons.
  6. Membatasi operasi yang bersifat ofensif (serangan yang bersifat agresif / terus-menerus) untuk menghindari kegiatan yang bersifat ataupun berakibat secara massal. 


Source :
[1]https://us.norton.com/internetsecurity-emerging-threats-10-facts-about-todays-cybersecurity-landscape-that-you-should-know.html
[2]https://blogs.microsoft.com/on-the-issues/2017/02/14/need-digital-geneva-convention/

No comments

Powered by Blogger.